3000 KONFLIK CINTA
Pernikahan bahagia nan idaman sejatinya pasti menghadapi konflik didalamnya. Bagi barisan jomblo (QS 24:30-31), konflik terberat yang menciptakan kegalauan berkepanjangan yakni mengenai jodoh dan pernikahan (QS 24:33). Sementara bagi sejawat pasutri, justru “ pernikahan” jauh lebih kompleks menjadi sebuah konflik baginya terlebih jika terjadi kesalahan paradigma dalam memaknai pernikahannya. Terbayang baginya konflik selalu mencekik di setiap sudut pernikahannya : mencapai kesuksesan berumah tangga yang mendukung pekerjaannya, membesarkan anak-anak menjadi sukses dgn pandangan duniawi, hingga bagaimana menghadapi perbedaan dan kebosanan perasaan serta rutinitas semata-mata menjadi konflik dimata mereka yang semakin menyiksa karena parameter yang digunakannya pun ukuran duniawi yang bertopang pada budaya hedonis serta materialis (QS 25:43-44).
Menurut Michael Gurlan dalam salah satu karyanya mengenai pola pemikiran laki-laki yang telah menikah yang sebelumnya ia mengumpulkan data penelitian hingga didapatkan gambaran bahwa selama 20 tahun terakhir, bagi dua sejawat pasutri pasti akan mengalami premis-premis konflik dalam setiap plot alur drama kehidupan keluarga; ada yang mampu menyelesaikan kisah drama keluarganya hingga plot ending terakhir namun jutru tidak sedikit yang stagnan dan terjerumus berhenti dalam plot dramanya tanpa dapat menyentuh yang menjadi ending alur kisah tersebut yang mana mayoritas ini ialah yakni yang memilih perceraian untuk berhenti di plot kisahnya tanpa sedikitpun menoleh bagaimana ending kisah keluarganya padahal jika saja ia berkeinginan kuat serta sabar, hanya butuh selangkah nyata menhadapi premis konfliknya maka ia terselamatkan dalam mengarungi drama keluarganya.

Potensi konflik diantara duan insan yang akan selalu bertemu setiap detiknya tentu memang sangatlah besar menggema. Rasa saling memahami tidak mungkin direngkuh dengan kilat secara otomatis setelah resmi akad nikah terucap. Maka sejatinya inilah dunia kenyataan, drama kehidupan yang sesungguhnya bukanlah semata sebuah skenario dramturgi duniawi. Perbedaan yang menjadi penyebab konflik inilah yang dalam pernikahan sesungguhnya suatu konflik adalah sebuah keniscayaan.
Dramaturgi yang diusungkan oleh Goffman (1959) dalam sebuah jurnalnya selayaknya sangat membatu menjelaskab fenomena bagaimana carut-marutnya topeng peran front stage yang dimainkan setiap individu manusia yang sangat egosentris tanpa memikirkan dampak dari permainan panggungnya pada masyarakat. Peran front stage tersebut pula yang terkadang menjadi pemicu trigger konflik dalam sepasang suami istri. Keterbukaan serta kejujuran diantara kedua sejawat pasutri akan menebalkan topeng front stage keduanya atau salah satu diantara mereka yang dalam posisinya justru merugikan “kerjasama” tim dalam keluarga. Saat pasangan mengetahui bagaimana back stage yang sebenarnya kemudian diselubungi dengan perasaan seolah dibohongi, dikhianati, serta meresa sebagai “korban” maka perkara kecil pun akan berpotensi menjadi trigger konflik peperangan maha dahsyat dalam keluarga.
Keharmonisan dalam pernikahan adalah bukan perihal pernikahan yang tiada konflik satupun, namun sejatinya kondisi dimana kedua sejawat insan ini mampu menangani konflik yang muncul secara dewasa. Maka turbulensi yang menimpa pesawat rumah tangga kita seiring kita belajar dan bersabar bersama dalam menangani konflik akan kembali pada kondisi normal hingga seolah sudah tak terasa lagi goncangannya.
Intinya, setiap hal tentunya membutuhkan proses. Mesin yang menciptakan barang instan pun memerlukan proses bagaimana merangkai hingga menghidupkan mesin tersebut. Begitu juga dengan pernikahan, jika kita mengabaikan pernikahan dan enggan menghadapi konflik hingga lebih memilih menghindar lari, niscaya bahtera rumah tangganya pun tetap berposes namun ironinya berproses pada kenyataan-kenyataan yang tidak diinginkan. Sama halnya dengan jika kita menghargai dan menyadari pernikahan hingga paham bagaimana bersabar dan belajar dalam menghadapi konflik yang terjadi, maka kebaikan yang Allah janjikan dalam pernikahan akan selalu hadir menemani hingga menjadikan perjalanan bahtera tersebut terasa manis, tentunya konflik tak berhenti hanya saja kedua insan tersebut jauh lebih dewasa dalam berjalan beriringan.
Logika Al-Quran menghadirkan kepada manusia bahwa konflik dibahasakan dengan kata aduw (permusuhan, pertentangan, konflik) yang digemakan 34 kali dalam Al-Quran yang memiliki makna substansi menyangkut proses konflik. Al-quran dengan jelas memberikan gambaran konflik khususnya konflik antar manusia yang sejatinya menjadi bahan dasar paradigma yang akan kita bentuk dalam menghadapi konflik (QS 10 :90, 2 : 36, 4:62).
karakter yang mendasari manusia tak dapat dihindari bagaimanapun juga ialah mengenai potensinya untuk mengalami konflik. (QS 18: 54). Bahkan menurut ibnu abbas, tiada sesuatu pun yang memiliki kecenderungan amat keras dalam konflik selain manusia. Bebagai potensi yang berbeda bahkan saling berlawanan dan bertabrakan selalu akan menjadi pemicu munculnya dinamika konflik. Sedangkan manusia sudah dipastikan tidak dapat mengelak dari ke-khas-an individu yang beraneka ragam.
Menurut Prof Agus Safei(2008) dalam salah satu karyanya mengungkapkan bahwa untuk itu Al quran memberikan jalan solusi dengan langsung berpusat pada akar masalahnya, yakni dibutuhkannya tanggungjawab dan cinta dalam mengikat konflik. Maknanya bahwa anugerah perbedaan status dan potensi yang dimiliki setiap pribadinya akan dipertanggungjwabakan dan bukan perkara yang patut untuk disandingkan sebagai perbandingan yang sejatinya justru untuk memberi, melengkapi serta saling menasehati (QS 103:1-3).
Ribuan wanita dan pria single di SatukanCinta mencari sahabat, teman kencan, atau bahkan pasangan hidup. Bisa jadi Andalah yang ditunggu-tunggu!