Stigma Janda

Damean (2006:91) menyatakan saat menggambarkan seorang perempuan, media mengikuti tiga koordinat: gambar (jika dia menginginkan kecantikan), kehidupan pribadi (jika dia memiliki pasangan dan jika dia memiliki anak), dan karier (betapa berbakatnya dia dalam pekerjaannya). Apalagi terhadap janda.
Skema ini berguna untuk memanipulasi sikap perempuan terhadap citra dan waktu luang. Oleh karena itu citra berupa kehidupan pribadi tampak lebih penting daripada aktivitas yang relevan di ruang publik (Damean, 2006: 93). Selain itu, citra perempuan dalam berita distereotipkan sebagai korban, ibu, dan istri. Media umumnya melihat perempuan dari sisi negatif terlebih pada janda

Pada studi ini, berita memproduksi kekerasan pada perempuan melalui pemilihan diksi, labelling, dan struktur bahasa. Klapp dalam Langer (1998:78- 79) menyebutnya sebagai peningkatan simpati publik dengan membuat perempuan sebagai korban yang tak berdaya, tidak memiliki kemampuan untuk melakukan serangan balik, serta mental yang lemah. Termasuk pada berita-berita yang menjadikannya sebagai tokoh utama berita, penggambaran yang dikonstruksikan adalah sebagai istri yang tidak independen, menyerah untuk mengambangkan karir dan memilih menjaga anak-anak serta menjadikan keberadaan suami sebagai pemimpin keluarga.
Di Indonesia diperkirakan ada 9 juta Kepala Keluarga Perempuan, 14% dari total 65 juta rumah tangga di Indonesia (Akhmadi dkk., 2010:1). Sementara itu, di Indonesia jumlah janda mengalami peningkatan sejumlah 250.000 orang (detik.com pada 17 November 2017).
Di Indonesia, salah satu penyebab meningkatnya janda adalah karena status perkawinan mereka yang tidak pasti. Banyak yang melakukan pernikahan yang tidak diakui secara hukum, seperti yang umum di Lombok (Platt, 2010). Banyak yang miskin dan tinggal jauh dari kantor pemerintah sehingga tidak dapat membayar biaya pendaftaran perkawinan formal atau perceraian (Akhmadi dkk., 2010).
Status janda bukanlah posisi yang menguntungkan bagi perempuan secara biologis, psikologis, maupun sosiologis. Kondisi yang melingkupi diri kaum perempuan seringkali mengundang bargaining position kaum ini ketika berhadapan dengan kaum pria. Kaum janda kadang ditempatkan sebagai perempuan pada posisi yang tidak berdaya, lemah, dan perlu dikasihani sehingga seringkali terjadi ketidakadilan terhadap mereka (Munir, 2009: 144).
Keadaan ini mampu mengundang komunitas di sekitar janda tersebut menilainya telah melakukan pergaulan bebas. Implikasi lebih lanjut, menurut Mahy, komunitas siap memfitnah janda sebagai tidak bermoral, dan dugaan amoralitas ini adalah inti dari stigma gender. Stigma tersebut menyerang identitas moral dan nilai seorang janda dan membuatnya sulit membangun reputasi sebagai perempuan terhormat yang memiliki moral yang baik dalam kehidupan sehari-hari (Parker, dkk 2016:2-3). Mereka difitnah sebagai pemangsa, serakah dan jahat.
Status janda sangat rentan terhadap masalah-masalah sosial, terutama jika dibandingkan dengan wanita yang berstatus menikah atau yang belum menikah. Berawal dari perpisahan dengan suami, kerawanan ekonomi akan muncul terutama bagi wanita yang kondisi perekonomiannya tidak memadai, apalagi mereka yang mempunyai anak dan harus bertindak sebagai single parent yang akan lebih menambah beban hidup seorang janda.
Dalam budaya patriarki yang demikian dominan, hancurnya perkawinan selalu membawa dampak dan konotasi negatif terutama bagi kaum perempuan. Artinya, dari kegagalan perkawinannya yang berakhir pada suatu perceraian, menyebabkan pihak perempuan beralih statusnya menjadi seorang janda. Perempuan yang menjadi janda dalam usia relatif muda dan bukan karena kematian pasangan hidupnya seringkali dianggap sebagai perempuan yang kurang baik dan aneh oleh masyarakat. Maka segera saja gosip atau opini negatif tentang sesuatu hal pada seseorang yang berstatus itu akan segera muncul dalam masyarakat.
Terjadinya berbagai macam persepsi masyarakat terhadap status seorang janda, hal tersebut tentunya di pengaruhi oleh berbagai macam proses serta ada faktor tertentu yang mendominasi pemikiran masyarakat terhadap janda. Di dalam kehidupan sosial hal semacam tersebut merupakan suatu gejala kehidupan yang tidak dipisahkan dari kehidupan bermasyarakat.
Pada dasarnya masyarakat tidak perlu beranggapan berlebihan terhadap status janda yang dimiliki oleh seorang perempuan yang ditinggal oleh suaminya, karena seorang janda masih bisa menjaga tingkaklaku dan sikapnya didepan masyarakat umum dengan sangat baik, sehingga baik secara langsung dan tidak langsung para janda tidak perlu menjadi sorotan masyarakat.
Ribuan wanita dan pria single di SatukanCinta mencari sahabat, teman kencan, atau bahkan pasangan hidup. Bisa jadi Andalah yang ditunggu-tunggu!